I.
PENDAHULUAN
Hukum dalam
masyarakat manapun adalah bertujuan untuk mengendalikan masyarakat. Ia adalah sebuah
sistem yang ditegakkan terutama untuk melindungi hak-hak individu maupun
hak-hak masyarakat. Sistem hukum di setiap masyarakat memiliki sifat, karakter
dan ruang lingkup sendiri. Sama halnya Islam memiliki sistem hukum sendiri yang
dikenal dengan fiqh. Hukum Islam bukanlah hukum murni dalam pengertiannya yang
sempit; ia mencakup seluruh bidang kehidupan-etika, keagamaan, politik dan
ekonomi. Ia bersumber dari wahyu Illahi. Wahyu menentukkan norma dan konsep
dasar hukum Islam serta dalam banyak hal merintis dobrakan terhada adat dan
sistem hukum kesukuan Arab pra-Islam.
Sekarang,
dalam melakukan ijtihad, ruang lingkup qiyas haruslah diperluas untuk
menjadikannya lebih praktis dan mujarrab untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan. Untuk membuka pintu ijtihad, yang merupakan kebutuhan yang
mendesak saat ini, ijtihad harus dilaksanakan oleh para ahli yang berkompeten
dengan bekerja sama dengan pemerintah (yang Islamis) sehingga ia dapat
diberlakukan menjadi perundang-undangan; kalau tidak ia akan tetap tinggal
bersifat teoritis semata-mata dan perbenturan antara para ahli dan pemerintah
akan terus berlangsung. Karena ijma’
memantapkan dirinya hanya secara bertahap dan hampir secara tak terasa
bersamaan dengan jalannya waktu. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan
menyajikan mengenai ijtihad dalam hukum
Islam.
II. RUMUSAN MASALAH
A.
Apakah pengertian dari ijtihad dan bagaimana syarat
menjadi mujtahid ?
B.
Bagaimana hukum ijtihad dan eksistensi mujtahid
sepanjang massa ?
C.
Bagaimanakah stratifikasi mujtahid ?
D.
Bagaimana nilai kebenaran dalam ijtihad ?
E.
Bagaimana eksistensi ijtihad dalam komunitas Islam ?
F.
Apa sajakah perangkat yang dibutuhkan untuk mencapai
derajat ijtihad ?
G.
Bagaimanakah tingkatan mujtahid ?
H.
Apa sajakah macam dari ijtihad ?
III. PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ijtihad dan Syarat-Syarat Mujtahid
Ijtihad ialah:
بَذْلُ
الْجُهْدِ لِتَحْصِيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ
“...Memberi segala daya
kemampuan dalam usaha mengetahui sesuatu hukum syara’ atau:
اِسْتِفْرَاغُ
الْوُسْعِ لِتَحْصِيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ الظَّنِّ
“Menggunakaan segala kesanggupan untuk
mencari sesuatu hukum syara’ dengan jalan dhan”
Ijtihad dalam bidang putusan hakim
(pengadilan) ialah jalan yang diikuti hakim dalam menetapkan hukum, baik yang
berhubungan dengan nash undang-undang ataupun dengan mengistinbathkan hukum
yang wajib diterapkan di waktu tak ada nash.[1]
Ijtihad yang berasal dari kata (asal
mulanya) ijtihada (اجتهد)
artinya ialah: bersungguh-sungguh, rajin, giat. Sedang apabila kita meneliti
ma’na ja-ha-da, artinya ialah mencurahkan segala kemampuan. Jadi dengan
demikian, menurut bahasa ijtihad itu ialah berusaha atau berupaya yang
sungguh-sungguh. Perkataan ini tentu saja tidak akan dipergunakan di dalam
sesuatu yang tidak mengandung kesulitan dan keberatan. Saiyid Muhammad
al-Khudloriy di dalam kitabnya Ushulufiqh (h. 367), demikian pula Dr. Wahbah
Az-Zuhailiy di dalam kitabnya al-Wasith fi Ushulil fiqhil Isalmiy (h. 590)
memberikan contoh : اِجْتِهَدُ فىِ حَمْلِ حَجَرِ الرَّحَا(Dia berusaha keras membawa
batu giling), dan tidak akan dikatakan اِجْتِهَدُ فىِ
حَمْلِ خَرْدَ لَةٍ :(berusaha
sungguh-sungguh membawa sebiji bijian).
Kemudian di kalangan para ulama perkataan
ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang
ahli hukum (al-faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syariat. Jadi
dengan demikian, ijtihad itu ialah perbuatan-perbuatan istimbath hukum
syar’iyyah dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari’at. (Dr.
Wahbah Az-Zuhailiy, h. 529)
Imam Al-Ghozaliy, yang diikuti juga oleh
Khudloriy (Dr. Wahbah 591) mendefinisikan ijtihad itu dengan “usaha
sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dengan sungguh-sungguh didalam rangka
mengetahui/ menetapkan tentang hukum-hukum syari’ah. Adapula yang mengatakan,
ijtihad itu ialah qiyas, tetapi oleh al-Ghozaliy di dalam al-mustashfa (II/4
pendapat itu tidak disetujui menurutnya itu adalah keliru, sebab ijtihad itu
lebih umu daripada qiyas, sebab kadang-kadang ijtihad itu memandang di dalam
keumuan dan lafadz-lafadz yang pelik dan semua jalan asillah (berdalil) selain
daripada qiyas. Imam Syafi’i sendiri menyebutkan bahwa dalam arti sempit qiyas
itu juga adalah ijtihad.[2]
Ijtihad adalah suatu alat untuk menggali
hukum Islam, dan hukum Islam yang dihasilkan dengan jalan ijtihad statusnya
adalah zanni. Zann artinya pengertian yang berat kepada benar, dengan arti kata
mengandung kemungkinan salah. Ushul fiqh mendefinisikan ijtihad dengan:
اِسْتِفْرَاغُ الْفَقِيْهِ الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنٍّ بِحُكْمٍ
شَرْعِيٍّ
“Pencurahan kemampuan secara
maksimal yang dilakukan oleh faqih (mujtahid) untuk mendapatkan zann (dugaan
kuat) tentang hukum syar’i”[3]
Syarat-syarat menjadi mujtahid itu ada
tiga syarat, yakni yang bersifat umum, utama, maupun pendukung, adapun
persyaratan umum yaitu sebagai berikut:
-
Baligh
-
Berakal
-
Memiliki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk
memahami konsep-konsep yang pelik dan abstak
-
Memiliki keimanan yang baik.
Adapun persyaratan utama yaitu sebagai
berikut:
-
Memahami bahasa arab
-
Menguasai ilmu usul fiqih
-
Mamahami Al-Qur’an secara mendalam
-
Memahami sunnah
-
Memahami tujuan-tujuan persyaratan hukum (maqashid
asy-syari’ah).
Adapun persyaratan pendukung yaitu
sebagai berikut:
-
Mengetahui ada atau tidak adanya dalil al-qath’i
yang mengatur hukum masalah yang sedang di bahas.
-
Mengetahui persoalan-persoalan hukum yang menjadi
objek perbedaan pendapat ulama’ ( ma’rifah mawadhi’ al-khilaf)
-
Memiliki sifat takwa dan kesolehan ( shalah
al-mujtahid wa ta’wa)[4].
B.
Hukum
Ijtihad dan Eksistensi Mujtahid Sepanjang Massa
Dalam buku ushul fiqih Zen Amiruddin ada tiga kriteria hukum
berijtihad, yaitu:
a.
Wajib
ain yakni apabila
seseorang yang di tanya prihal hukum suatu peristiwa, sedangkan peristiwa itu
akan hilang sebelum di tetapkan hukumnya. Demikian pula seseorang yang segera
ingin mendapatkan kepastian hukum untuk dirinya sendiri dan tidah ada mujtahid
yang bisa segera di temui untuk mendapatkan fatwa perihal hukumnya.
b.
Wajib
kifayah yakni bagi
seseorang yang di tanya tentang sesuatu
pristiwa hukum, dan tidak di khawatirkan segera hilangnya peristiwa itu,
sementara di samping dirinya masik ada mujtahid lain yang lebih ahli.
c.
Sunnah yakni berijtihad terhadap suatu peristiwa hukum yang belum
terjadi baik di tanyakan ataupun tidak
ada yang mempertanyakan.[5]
d.
Haram yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama, berijtihad terhadap permasalahan
yang sudah tegas (qath’i) hukumnya baik berupa ayat atau hadis dan ijtihad yang
menyalahi ijma. Kedua, berijtihad bagi seseorang yang belum memenuhi syarat
sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi menyesatkan,
dasarnya karena menghukumi sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu hukumnya
haram.[6]
Ulama-ulama Hanbaliyah menetapkan bahwa tak ada masa yang kosong
dari mujtahid, karena kejadian-kejadian itu terus menerus terjadi. Kebutuhan
mengetahui hukum Allah, tetap ada pada setiap zaman. Perlu ditegaskan bahwa
ahli agama khilaf tentang ada tidaknya, mengenai mujtahid mutlak. Mengenai
mujtahid yang menetapkan hukum, tak ada perselisihan.
Eksistensi mujtahid sepanjang masa dari masa Rasulullah saw sampai sekarang tidak
bisa diragukan lagi. Dahulu ketika muslimin yang hidup di masa Rasulullah saw
mau tidak mau berbeda dengan yang dihadapi generasi berikutnya dengan
terjadinya kontak dan saling pengaruh mempengaruhi antara Islam dan
budaya-budaya lain yang bertetangga dengannya. Sewaktu Rasulullah masih hidup,
tak terdapat ilmu macam yurisprudensi. Rasulullah tidak menggolong-golongkan
perintah ke dalam wajib, mandub (dianjurkan), haram, makruh, dan mubah
sebagaimana dikemukakan dalam teori hukum yang muncul kemudian. Menurut para
ahli hukum, setiap tindakan harus masuk ke dalam salah satu dari kelima kategori
tersebut. Akan tetapi tidaklah demikian halnya dengan para sahabat ketika
Rasulullah masih hidup. Satu-satnya ideal bagi mereka hanyalah perilaku
Rasulullah. Tidak disangsikan lagi bahwa kadang-kadang para sahabat mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada beliau, yang berkaitan dengan persoalan-persoalan
yang serius. Pada masa Rasulullah adalah mungkin bagi dua orang untuk mengambil
tindakan yang berbeda dalam satu situasi
yang sama.
Setelah Nabi wafat barulah ijtihad diperlukan
oleh ulama mujtahid untuk menjawab hukum permasalahan baru yang timbul dengan
tetap berpegang kepada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-qur’an.[7] Setelah
wafatnya Rasulullah, para sahabat tersebar di berbagai pelosok dunia Islam.
Umumnya mereka menduduki posisi kepemimpinan keagamaan dan intelektual. Mereka
menjadi tempat bertanya orang-orang di daerahnya untuk dimintai keputusan
berkaitan dengan berbagai persoalan. Mereka memberikan keputusan kadang-kadang
berdasarkan apa yang pernah mereka pelajari dan ingat dari perintah-perintah
Rasulullah, dan lain waktu menurut apa yang mereka pahami dari Al-qur’an dan
Sunnah.[8]
Permasalahan yang timbul sekarang ini
sangat kompleks dan jawabannya tidak terdapat dalam Al-qur’’an maupun hadis.
Jika tidak ada usaha yang sungguh-sungguh dari orang yang pantas berijtihad ,
maka akan terjadi kekosongan hukum. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan hukum.
Oleh karena itu, ijtihad untuk sekarang ini merupakan hal yang dharury (mendesak)
untuk dilakukan, karena begitu banyak kasus permasalahan baru yang sifatnya
kompleks dan rumit yang memerlukan jawaban dari hukum Islam.[9]
C.
Stratifikasi
Mujtahid
Kemampuan dan minat seseorang terbatas, bahkan ada orang yang sudah
puas dengan mengikuti saja. Sejalan dengan kemampuan dan minat itu, para
mujtahid juga bertingkat-tingkat yakni:
1.
Mujtahid
muthlaq atau mustaqil
adalah ulama yang telah memenuhi semua syarat-syarat di atas. Mereka mempunyai
otoritas untuk mengkaji hukum langsung dari Qur’an dan sunnah, melakukan Qiyas,
mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahah. Termasuk dalam tingkatan ini
adalah seluruh fuqoha’ dari kalangan tabi’in, seperti Sa’id bin Musayyab dan
Ibrahim An-nakha’i, fuqoha’ mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad
bin Hambal, Al auza’I, dan lain-lain.
2.
Mujtahid
muntasib adalah
mujtahid-mujtahid yang mengambil atau memilih pendapat-pendapat imamnya dalam
ushul dan berbeda pendapat dalam imamnya
dalam cabang, meskipun secara umum ijtihadnya mengasilkan kesimpulan-kesimpulan
yang hampir sama, dengan hasil ijtihad yang di proleh imamnya. Termasuk dalam
tingkatan ini adalah Al-Muzani (dari
mazhab Syafi’i) dan Abdurrahman Ibnu Qosim nama lengkap beliau adalah
Abdurrahman bin Qasim bin Khalid bin Janadah Abu Abdullah Al Utaqy Al Mishry.
Beliau dilahirkan pada tahun 132 Hijriyah, hidup selama 59 tahun, beliau wafat
tahun 191 Hijriyah ( dari mazhab Maliki).
3.
Mujtahid
mazhab ialah mujtahid
yang mengikuti imam mazhabnya baik dalam masalah ushul atapun furu’. Peranan
mereka sebatas melakukan istimbath hukum terhadap masalah-masalah yang belum
diriwayatkan oleh imamnya. Mujtahid madzab tidak berhak berijtihad terhadap
masalah-masalah yang telah ada ketetapannya di dalam madzab yang di peganganya.
Menurut mazhab maliki, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid mazhab. Termasuk
ulama dalam kelompok ini adalah Abu Al-Hasan Kharkhi (260-340 H), Abu Ja’far
At-Thahawi (230-321 H), dan Al-Hasan bin Ziyad (wafat 204 H) dari kalangan
Hanafiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Abhari (289-375 H) dari kalangan Malikiyah,
dan Ibnu Abi Hamid Al-Asfrini (344-406 H) dari kalangan Syafi’iyah.[10]
4.
Mujtahid
murajjih adalah
mujtahid yang tidak mengistimbathakan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum-hukum
asal) akan tetapi hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk
kemudia memilih salah satu pendapat yang dipandang paling kuat. [11] Ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah
Imam Al-Qodiry dan Imam Al-Marghinani dari kalangan Hanafi, Imam Nawawi, Imam
Romli dan Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Syafi’i.
D.
Nilai
Kebenaran dalam Ijtihad
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat Islam sejak dulu hingga
sekarang selalu saja ada, bahkan lebih-lebih di masa ini sekarang. Diantaranya ada yang
menyentuh hukum-hukum syari’iy dan ini meminta penyelesaian. Untuk
itulah ijtihad itu diperlukan. Tentu saja dalam hal-hal yang qath’iy, yang sudah pasti
hukumnya tidak diperlukan ijtihad.
Ummat Islam dalam hal ini siapa saja wajib langsung melakukannya.
Misalnya, sholat itu wajib. Sholat fardhu itu
ada lima kali. Puasa ramadhan itu wajib dan lain sebagainya. Tetapi
didalam hal yang tidak qath’iy, artinya belum ada nash disitulah
wajib dilakukan ijtihad itu. Apalagi apabila memang hal-hal tersebut menyangkut
hukum syar’iy. Misalnya yang terjadi pada zaman sekarang, bagaimana dengan KB,
bagaimana bayi tabung dan banyak lagi hal-hal yang lain yang menjadi mas’alah
yang menyebabkan umat Islam bertanya-tanya bagaimana melakukannya dengan baik
ataukah memang tidak melakukannya.[12]
Ijtihad berlaku
pada ayat atau hadis, dengan catatan bahwa nash tersebut masih bersifat zhan
bukan qath’i. Atau pada permasalahan yang hukumnya belum ada dalam nash.
Jadi, ijtihad tidak berlaku pada masalah yang hukumnya sudah pasti (qath’i)
seperti mengeluarkan hukum wajib shalat, puasa, zakat, dan haji. Karena untuk melakukannya tidak perlu usaha yang
berat.[13]
E.
Eksistensi
Ijtihad dalam Komunitas
Islam
Sejak dulu
hingga sekarang ijtihad senantiasa tetap diperlukan, karena banyaknya kasus
yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh Al-qur’an dan as-sunnah.
Apalagi zaman sekarang ini, di mana
agama Islam telah berkembang dan bertemu dengan budaya dan alam lain dari
tempat kelahirannya, maka persoalan yang muncul tentu lebih banyak lagi,
apalagi saat ini perkembangan ilmu dan teknologi dengan pesat sekali. Maka persoalan-persoalan yang muncul itu harus
ada kejelasan status hukumnya.
Agar hukum
Islam tetap actual, maka masa kini diperlukan hukum Islam dalam bentuk baru,
dan tidak mesti mengambil alih secara total
hasil fiqh yang lama. Maka diperlukan reformasi atau tajdid fiqh.
Diantara caranya adalah dengan memahami kembali dalil syara’ yang menjadi
rujukan ulama mujtahidin terdahulu dan menjadikan situasi dan kondisi masa
sekarang sebagai bahan pertimbangan penetapan hukum sebagaimana yang dilakukan
pula oleh mujtahid masa lalu.[14]
Orang yang
mempunyai kelengkapan syarat ijtihad ditugaskan mengistinbathkan hukum atas
dasar fardhu kifayah. Ada ulama yang berkata: kita perlu membayangkan
hal-hal yang mungkin terjadi lalu kita bahas hukumnya, agar diketika terjadi hal-hal
itu hukum telah ada. Inilah jalan yang ditempuh oleh fuqaha ahlul ra’yi
dan golongan Hanafiyah. Dan haram berijtihad pada masalah-masalah yang telah
terjadi ijma’.
Dalam hal
inilah berwujudnya perbedaan-perbedaan pendapat, oleh karena jalan yang ditempuh
dalam berijtihad berbeda, maka tidaklah mengherankan kalau hasilnya berbeda
pula, tetapi ikhtilaf ini mewujudkan kekayaan fiqh yang besar dan menghasilkan
teori-teori yang banyak.[15]
F.
Perangkat
Untuk Mencapai Derajat Ijtihad
Perangkat untuk mencapai derajat ijtihad disini sama halnya dengan
syarat-syarat yang diperlukan seseorang untuk mencapai derajat ijtihad itu
sendiri. Wahbah Zuhaili mengemukakan syarat-syaratnya sebagai berikut:
a.
Mengetahui
makna ayat ahkam yang terdapat dalam
Al-qur’an baik secara bahasa maupun secara istilah syara’.
b.
Mengetahui hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah.
c.
Mengetahui Al-qur’an dan hadis yang telah dinasakh dan mengetahui ayat
dan hadis yang menasakh.
d.
Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma.
e.
Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas.
f.
Menguasai bahasa Arab.
g.
Mengetahui ilmu ushul fiqh.
h.
Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum.
G.
Tingkatan
Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad adalah mujtahid. Ada beberapa
tingkatan dalam mujtahid antara lain:
a.
Mujtahid
fi al-syar’i bisa di sebut
dengan mujtahid mustaqil. Ialah orang yang membangun suatu madzab
seperti imam mujtahid yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi”i, dan Ahmad
bin Hambal.
b.
Mujtahid
fi al-mazhab, ialah
mujtahid yang tidak membentuk madzab sendiri tetapi mengikuti salah satu imam
madzab saja. Seperti Abu Al-Hasan Kharkhi (260-340 H), Abu Ja’far At-Thahawi
(230-321 H), dan Al-Hasan bin Ziyad (wafat 204 H) dari kalangan Hanafiyah,
Muhammad bin Abdullah Al-Abhari (289-375 H) dari kalangan Malikiyah, dan Ibnu
Abi Hamid Al-Asfrini (344-406 H) dari kalangan Syafi’iyah.
c.
Mujtahid
fi al-masa’il ialah mujtahid
yang berijtihad hanya pada beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang
umum. Seperti Imam Al-Thahawi dari kalangan Hanafiyah, Al-Ghozali dari kalangan
Syafi’iyah, Al-Khiraqi dari kalangan Hanabilah.
d.
Mujtahid
muqoyyad ialah mujtahid
yang mengikat diri dengan pendapat ulama’ salaf dan mengikuti ijtihad mereka.[16]
Yang termasuk dalam mujtahid muqoyyad adalah Imam Ath Thahawi, Al Kurkhi, dan
As Sarkhasi, yang semuanya merupakan ulama dari Mazhab Hanafi. Sementara mujtahid muqayyad dari Mazhab
Maliki di antaranya adalah Al Abhari dan Ibnu Abi Zaid Al Qairuwani. Sedangkan
mujtahid dari kalangan Mazhab Syafi’i adalah Abu Ishaq Asy Syirazi, Ibnu
Khuzaimah, dan Muhammad bin Jarir. Adapun dari kalangan Mazhab Hambali, di
antaranya adalah Al Qadhi Abu Ya’la dan Al Qadhi Abu Ali bin Abu Musa rahimahumullah.[17]
H.
Macam-Macam Ijtihad
Dr. Ad-Duwalibi, sebagaimana dikatakan
oleh Dr. Wahbah (h. 594) membagi macam ijtihad kepada tiga macam (sebagian
diantaranya juga ditunjuk oleh Asy-Syathibi di dalam (al-muwafaqotnya):
1.
Al-Ijtihadul Bayaniy yaitu menjelaskan (bayan)
hukum-hukum Syar’iyah dari nash-nash syari’ (yang memberi
syari’at yang menentukan syari’at). Ijtihad
bayani merupakan metode ijtihad yang lebih menitikberatkan kepada kajian
kebahasaan. Ijtihad bayani adalah pengetahuan kemampuan untuk sampai
kepada hukum yang dimaksud oleh nash dan zhanni tsubut atau dalalahnya, atau
zhanni kedua-duanya. Inilah yang menjadi ruang lingkup ijtihad, yaitu
batas-batas yang diberi toleransi untuk memahami nash dan mentarjih atau
mengutamakan beberapa maksudnya, atau mengetahui sasaran nash dan jalurnya.
Pengistilahan ijtihad bayani, karena berkaitan dengan penjelasan terhadap nash,
yaitu pembatasan terhadap ruang lingkup nash, hal-hal apa saja yang menjadi
ruang lingkup tersebut menurut pembuat syara’. Ijtihad model ini disepakati
oleh seluruh ulama.
2. Al-Ijtihadul Qiyasiy yaitu meletakan (wadI’an) hukum-hukum syar’iyah
untuk kejadian-kejadian/peristwa-peristiwa yang tidak terdapat di dalam
al-kitab dan as-sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat
di dalam nash-nash hukum syar’i. Menurut Muhammad Salam
Madkur, ijtihad qiyasi adalah sebuah ijtihad dimana seorang ahli fiqih
mengerahkan kemampuannya untuk sampai kepada hukum yang tidak dijelaskan oleh
nash qathi’ maupun zhanni, juga tidak diperkuat ijma’. Ahli fiqih tersebut akan sampai kepada hukum
dengan memperhatikan indikator-indikator (imarah-imarah) dan jalan-jalan
(wasilah-waslah) hukum yang telah ada.
3. Al-Ijtihadul Ishthishlahiy, inipun juga meletakan (wadI’an)
hukum-hukum syar’iyah, untuk peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang untuk itu
tidak terdapat di dalam al-kitab dan as-sunnah, dengan mempergunakan ar-ro’yu
yang disandarkan atas ishtishlah. Menurut Muhammad Salam
Madkur Ijtihad Istishlahi adalah pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada
hokum syara’ (Islam) dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum
(kulliyah), taitu mengenai masalah yang mungkin digunakan pendekatan
kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’
terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode istihsan
terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada dasarnya merujuk kepada kaidah jalb
al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah (menarik kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.[18]
Dalam buku Pengantar Ilmu Fiqh karangan T.M.H Ash-Shiddiqiey, macam-macam
ijtihad adalah:
a. Dengan segala kemampuan untuk sampai
kepada hukum yang dikehendaki dari nash yang dhanni tsubutnya, atau dhanni
dalalahnya. Dalam hal ini kita berijtihad dalam batas memahami nash dan
mentarjihkan sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad dan jalannya
sampai kepada kita.
b. Dengan segala kesungguhan berupaya
memperoleh sesuatu hukum yang tidak ada nash qath’i, nash dhanni dan tidak ada pula ijma’. Dalam hal ini
kita memperoleh hukum itu dengan berpegang kepada tanda-tanda dan
wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’ seperti qiyas dan istihsan. Inilah
yang disebut ijtihad birra’yi.
c. Dengan segala kesungguhan berupaya
memperoleh hukum-hukum syara’ dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliah.
Ijtihad ini berlaku dalam bidang yang
mungkin diambil dari kaidah dan nash-nash yang kulliah, taka adanya suatu nash
tertentu, tak ada pula ijma’ dan tidak pula ditetapkan dengan qiyas atau istihsan.
Hal ini sebenarnya untuk mendatangkan
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, sesuai dengan kaidah-kaidah syara’.[19]
IV. KESIMPULAN
Ijtihad yang berasal dari kata (asal
mulanya) ijtihada (اجتهد)
artinya ialah: bersungguh-sungguh, rajin, giat. Sedang apabila kita meneliti
ma’na ja-ha-da, artinya ialah mencurahkan segala kemampuan. Jadi dengan
demikian, menurut bahasa ijtihad itu ialah berusaha atau berupaya yang
sungguh-sungguh. Perkataan ini tentu saja tidak akan dipergunakan di dalam
sesuatu yang tidak mengandung kesulitan dan keberatan. Saiyid Muhammad
al-Khudloriy di dalam kitabnya Ushulufiqh (h. 367), demikian pula Dr. Wahbah
Az-Zuhailiy di dalam kitabnya al-Wasith fi Ushulil fiqhil Isalmiy (h. 590)
memberikan contoh : اِجْتِهَدَ فىِ حَمْلِ حَجَرِ الرَّحَا (Dia
berusaha keras membawa batu giling), dan tidak akan dikatakan اِجْتِهَدَ
فىِ حَمْلِ خَرْدَ لَةٍ :(berusaha
sungguh-sungguh membawa sebiji bijian).
Syarat-syarat menjadi mujtahid itu ada
tiga syarat, yakni yang bersifat umum, utama, maupun pendukung. Dalam buku ushul fiqih Zen Amiruddin ada tiga kriteria hukum
berijtihad, yakni wajib
‘ain, wajib kifayah, sunnah, dan haram. Eksistensi mujtahid sepanjang masa dari masa Rasulullah saw sampai sekarang tidak
bisa diragukan lagi. Stratifikasi mujtahid yakni: Mujtahid muthlaq
atau mustaqil, Mujtahid muntasib, Mujtahid
madzab dan Mujtahid murajjih.
. Sejak dulu hingga sekarang ijtihad senantiasa tetap diperlukan,
karena banyaknya kasus yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh
Al-qur’an dan as-sunnah. Ada
beberapa tingkatan dalam mujtahid antara lain: Mujtahid
fi al-syar’I, Mujtahid fi
al-mazhab, Mujtahid
fi al-masa’il , dan Mujtahid
muqoyyad. Dr. Ad-Duwalibi, sebagaimana dikatakan
oleh Dr. Wahbah (h. 594) membagi macam ijtihad kepada tiga macam.
V. PENUTUP
Demikian
makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk bisa memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi perbaikan makalah yang akan
datang.
[1] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1999, hlm. 200
[2] Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ushul
Fiqh ( Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad), Jakarta: Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1986, hlm. 111-112
[3]Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2003, hlm. 15
[4] Abd. Rahman
Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm 349-352
[5] Zen Amiruddin,
Ushul Fiqih, (Jogjakarta: Teras, 2009), hlm 196
[10] http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/tingkatan-tingkatan-mujtahid.html/11-Desember-2013/10.30WIB
[12] Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ushul
Fiqh ( Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad), Jakarta: Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1986, hlm. 114-117
[15] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999,
hlm. 202-204
[17] http://radayuw.blogspot.com/2013/03/ijtihad-tidak-dapat-dihapus-dengan.html/11-Desember-2013/10.45WIB
[18]http://muhammad-fachmi-hidayat.blogspot.com/2013/03/makalah-ushul-fikih-metode-ijtihad_1233.html/11-Desember-2013/10.55WIB.
[19] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 200-201