METODE PENETAPAN HUKUM MELALUI MAQASHID AL-SYARI’AH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh II
Dosen Pengampu: Amin Farih, M.Ag
Kelas: PAI 3C

Disusun
oleh:
Jajang Gumilar (123111087)
Kafi Sokhifah (123111089)
Kartika Farah S.H (123111090)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2013
Ulama ushul
fiqh menyimpulkan bahwa nash al-Qur’an dan Hadits Nabi selain menunjukkan hukum
melalui bunyi bahasanya juga juga melalui ruh tasryi’ atau maqasid
syari’at. Melalui Maqasid Syari’at inilah ayat-ayat dan
hadist-hadist hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat
dikembangkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kajian
kebahasaan tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Pengembangan ini
dilakukan dengan menggunakan metode istinbat seperti qiyas, istihsan,
maslahah mursalah, dan ‘urf yang pada sisi lain juga disebut sebagai dalil.[1] Berikut
ini akan diuraikan pengertian maqasid syari’ah, peran maqashid
syari’ah dalam menetapkan hukum menurut pandangan Imam Al-Syatibi, pengertian
Al-Maslahah dalam hukum Islam, jenis-jenis Maslahah, dan penerapan Al-Maslahah
sebagai dalil dan metodologi istinbat hukum.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa
pengertian Maqashid Al-Syari’ah?
B.
Bagaimana
peranan Maqashid Al-Syari’ah dalam pengembangan hukum Islam?
C.
Apa
pengertian Maslahah dalam hukum Islam?
D.
Bagaimana
jenis-jenis Al-Maslahah?
E.
Bagaimana
penerapan Al-Maslahah sebagai dalil dan metodologi istinbat hukum?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Maqashid Al-Syari’ah
Secara bahasa maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata yakni
Maqashid dan Al-Syari’ah. Maqashid bentuk jamak dari “maqshid” yang
berarti tujuan atau kesengajaan. Al-Syari’ah diartikan sebagai “ilal maa” yang
berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula
dikatakan sebagai jalan ke arah sember pokok kehidupan.
Sedangkan syari’ah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan
Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan
kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.
Menurut Manna al-Qattan yang dimaksud dengan Syari’ah adalah segala
ketentuan Allah yang disyari’atkan bagi hambanya baik yang menyangkut akidah,
ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Jadi, dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan Maqashid al-Syari’ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang
disyari’atkan kepada umat manusia.
Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah:
هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا
“Sesungguhnya
syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam mewujudkan
kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.[2]
B.
Peran
Maqashid Al-syari’ah dalam pengembangan hukum Islam
Pengetahuan tentang Maqashid Syari’ah, seperti ditegaskan
oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan
alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan
dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan
hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara
kajian kebahasaan.[3]
Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan, dan
maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang
didasarkan atas maqasid syari’ah. Qiyas, misalnya, baru bisa
dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqasid syari’ahnya yang merupakan
alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus
diharamkannya minuman khamar (QS. al-Maidah : 90). Dari hasil penelitian ulama
ditemukan bahwa maqasid syari’at dari diharamkannya khamar ialah karena
sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi
alasan logis (‘illat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukannya,
sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang
memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas)
bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘illat
hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan
qiyas (analogi). Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada
ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat meng-qiyas-kannya
yang dikenal dengan al-maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan).
C.
Pengertian
Maslahah dalam hukum Islam
Mashlahah sering juga disebut dengan istilah istidlal, istislah.
Terhadap istilah ini ulama ushul berbeda-beda dalam memberikan definisi.
1.
Abdul
Wahab Khalaf mendefinisikan:
Maslahah yaitu maslahah yang ketentuan hukumnya tidak digariskan
oleh Tuhan dan tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan tentang kebolehan dan
tidaknya maslahah tersebut.
2.
Abu
Zahrah dalam kitabnya ushul fiqih menyatakan:
Maslahah atau istislah yaitu segala kemaslahatan yang ejalan dengan
tujuan-tujuan syari’ (dalam menentukan hukum) dan kepadanya tidak ada dalil
khusus yang menunjuk tentang diakui atau tidaknya.
3.
Yusuf
Musa mmemberikan pengertian:
Maslahah yaitu segala kemaslahatan yang tidak diatur oleh ketentuan
syara’ dengan mengakui atau tidaknya akan tetapi mengakuinya dapat menarik manfaat
dan menolak kemadaratan.
Menurut istilah
malikiyah dan istilah al-Ghozali menyimpulkan bahwa maslahah adalah segala
sesuatu yang dapat menjamin kemaslahatan dan kepentingan manusia yang sejalan
dengan tujuan syar’i dalam mensyari’atkan hukum.
Sebagai contoh
maslahah ini dapat di rumuskan, misalnya pengumpulan Al-Qur’an dalam satu
muskhaf, pembuatan mata uang, pencatatan perkawinan dan lain sebagainya yang
kesemuanya merupakan ketetapan yang dapat mendatangkan kemaslahatan, walaupun
tidak ada ketegasan dari syara’ tentang diakui atau tidaknya dan kemaslahatan
itu ternyata memang sejalan dengan tujuan pembinaan hukum Islam yaitu
mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.[4]
D.
Jenis-jenis
Maslahah
Ulama Ushul
Fiqih membagi maslahah menjadi tiga bagian:
1.
Daruriyat
adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan
manusia. Kebutuhan penting tersebut biasa dinamakan al-Maqashidul khomsah antara
lain memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Penjabarannya:
a)
Agama, untuk maksud ini Islam antara lain mensyari’atkan jihad untuk
mempertahankan aqidah islamiyah, mewajibkan memerangi orang yang mencoba
mengganggu umat islam dalam menjalankan kewajibkan agama dan menghukum orang
yang murtad dari islam, dsb.
b)
Jiwa, untuk maksud ini islam antara lain mensyari’atkan pemenuhan
kebutuhan biologis manusia berupa sandang, pangan, papan. Begitu pula; hukum
qishos atau diyaat bagi orang yang melakukan kesewenang-wenangan terhadap
keselamatan jiwa orang lain, dsb.
c)
Akal, untuk maksud ini islam antara lain mensyari’atkan larangan
minum-minuman keras dan segala sesuatu yang dapat merusak akal, dan menjatuhkan
hukuman bagi setiap orang yang melanggarnya, dsb.
d)
Keturunan, untuk maksud ini islam mensyari’atkan larangan perzinaan, menuduh
zina terhadap perempuan mukhshonat, dan menjatuhkan pidana bagi setiap orang
yang melakukannya.
e)
Harta, untuk maksud ini islam mensyari’atkan larangan mencuri dan
menjatuhkan pidana potong tangan bagi setiap orang yang melakukannya, begitu
pula larangan riba, bagi setiap orang yang membuat rusak atau hilangnya barang
orang lain, dsb.[5]
Tidak terpeliharannya kebutuhan-kebutuhan tersebut tentu akan berakibat negatif pada
kelima unsur pokok tersebut.
2.
Hajiyat,
bukan merupakan kebutuhan esensial, tetapi kebutuhan yang dapat menghindarkan
manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak terpenuhinya kebutuhan hajiyat
akan mengancam eksistensi kelima hal pokok di atas, tapi hanya akan menimbulkan
kesulitan bagi seseorang. Karena Allah SWT berfirman :
“Allah tidak hendak
menyulitkan kamu.” (Q.S. Al-Maidah ayat 6).
Contoh:
Mengqashor dan menjama’ sholat dalam perjalanan, tayamum diwaktu tidak ada air,
membeli barang dengan cara pesanan dengan cara memberikan identitas.[6]
3.
Tahnisiyat
adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat
dan dihadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan dan kesempurnaan akhlak yang
mulia.[7]
Allah berfirman,
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?"
Contoh: Memakai
pakaian yang baik ketika hendak memasuki masjid.
Asas Hukum
Islam:
1)
Tidak
menyulitkan ('adamul kharaj)
Yang dimaksud tidak menyulitkan adalah hukum islam itu tidak sepi,
sempit, sesak,tidak memaksa dan tidak memberatkan. Diantara cara meniadakan
kesulitan itu, ada beberapa bentuk:
a.
Pengguguran
kewajiban, yaitu dalam
keadaan tertentu kewajiban shalat jum’at dan gugurnya kewajiban puasa di bulan
Ramadhan bagi orang yang sedang dalam keadaan dalam perjalanan atau sakit.
b. Pengurangan kadar yang telah ditentukan, seperti qashar shalat dari yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat,
yaitu shalat Dzuhur, Ashar, dan Isya’.
c.
Penukaran,
yaitu penukaran satu kewajiban
dengan yang lain, seperti wudhu atau mandi besar ditukar dengan tayamum, atau menukar
kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dengan hari lain bagi orang yang mempunyai
halangan puasa Ramadhan.
d. Mendahulukan, yaitu mengerjakan suatu
kewajiban sebelum waktunya hadir seperti shalat jama’ taqdim, shalat Ashar yang
dilaksanakan pada waktu Dzuhur, melaksanakan shalat Isya pada waktu shalat
magrib.
e. Menangguhkan atau mengtakhirkan kewajiban yaitu mengerjakan suatu
kewajiban setelah waktunya tidak ada seperti shalat jama’ takhir, mengerjakan
shalat Dzuhur di waktu shalat Ashar atau mengerjakan shalat Magrib di waktu
shalat Isya.
f. Mengubah dengan bentuk lain, seperti merubah
perbuatan shalat dengan shalat khauf karena alasan keamanan, atau
mengganti kewajiban puasa bagi orang yang sudah tidak kuat lagi puasa dengan
membayar fidyah.
2)
Menyedikitkan
beban (taqlil at-taklif)
Menyedikitkan beban,
yaitu dengan menyedikitkan tuntutan Alloh untuk berbuat, mengerjakan
perintahNya dan menjauhi laranganNya.
3)
Berangsur-angsur
(tadrij fi at-tasyfa)
Hukum islam dibentuk
secara gradual, tidak sekaligus. Diantara hukum islam yang diturunkan secara
gradual adalah riba.[8]
Pertama hanya dikatakan
sebagai perbuatan tercela dalam (Qs.al-Rum: 39)
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia
bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”.(Q.S Al-rum: 39)
Kemudian riba
yang dilarang adalah yang berlipat ganda (Qs. Ali imron: 130)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”.(Q.S Ali Imran: 130)
Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama
bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu
ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu
barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang
yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang
berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Terakhir
dikatakan hukum secara mutlak dalam (Qs. Al-Baqoroh: 275)
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil
riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.” (Al-Baqarah:275)
Demikian juga dalam
pelarangan minuman keras, awalnya hanya dikatakan bahwa mudharatnya lebih besar
dari manfaatnya (Qs. Al-Baqoroh: 219)
“Mereka bertanya kepadamu tentang
khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir”(Q.S Al-Baqarah: 219)
Kemudian larangan untuk mendekati shalat dalam
keadaan mabuk (Qs. an-Nisa: 43)
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan
junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu
sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah
kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”(Q.S.An-Nisa: 43)
Dan terkhir diharamkan
secara mutlak bahkan dikatakan sebagai perbuatan syetan (al-Maidah: 90)
“Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S.Al-Maidah: 90)
E.
Penerapan
Al-Maslahah sebagai dalil dan metodologi istinbat hukum
Sudah kita
ketahui bahwasannya jenis-jenis al-maslahah ada tiga macam, yaitu: dhoruriyyah,
hajiyah dan tahnisiyyah. Dari ketiga macam tersebut muncul beberapa mabadi / prinsip-prinsip
bersifat global yang telah dijadikan metode para ahli fiqh dalam mencari
istinbath hukum.
Dibawah
ini adalah contoh dari prinsip-prinsip di atas:
1.
Ad-dhororu
yuzaalu
“wajib
menghilangkan kerusakan yang telah terjadi"
Contoh:
disyari’atkan konsep khiyar bagi akad yang memiliki kerusakan seperti khiyar
terhadap barang yang memiliki aib, begitu juga diwajibkan berobat bagi yang
sakit.
2.
Darul
mafaasid awlaa min jalbil al-manaafi
“menolak
terjadinya kerusakan itu lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahah”
Contoh:
diharamkan menjual semua jenis khamr walaupun dapat memberi keuntungan ekonomi.
3.
Ad-dhoruuroot
tubikhu al-makhdzurot
“dalam
keadaan gawat darurat, diperbolehkan untuk melakukan hal yang dilarang”
Contoh:
diperbolehkan bagi orang yang kelaparan di hutan belantara untuk memakan
bangkai atau barang yang diharamkan syara’ demi keberlangsungan hidupnya.[9]
IV.
KESIMPULAN
1.
Maqashid
al-Syari’ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat
manusia.
2.
Maqashid
Syari’ah, seperti
ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang
dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah,
menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah
untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan
Sunnah secara kajian kebahasaan.
3.
Menurut
istilah malikiyah dan istilah al-Ghozali menyimpulkan bahwa maslahah adalah
segala sesuatu yang dapat menjamin kemaslahatan dan kepentingan manusia yang
sejalan dengan tujuan syar’i dalam mensyari’atkan hukum.
4.
Ulama
Ushul Fiqh membagi jenis-jenis maslahah menjadi tiga bagian: Daruriyat, Hajiyat,
Tahsiniyat.
5.
Asas
hukum Islam ada tiga yaitu tidak menyulitkan ('adamul kharaj), menyedikitkan
beban (taqlil at-taklif) dan berangsur-angsur (tadrij fi at-tasyfa).
6.
Penerapan
Al-Maslahah sebagai dalil dan metodologi istinbat hukum yang mempunyai contoh
dari prinsip-prinsip yaitu Ad-dhororu yuzaalu, darul mafaasid awlaa min jalbil
al-manaafi, ad-dhororuuroot tubiichu al-machdhzuurot.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang apat kami paparkan. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini
banyak kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami
semoga makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pembaca pada umumnya dan
pemakalah pada khususnya. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi,
Studi Hukum Islam, Yogyakarta: Teras, 2012
Effendi,
Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih,
Jakarta: Amzah, 2009
Shidiq,
Saipudin, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011
Zidan,
Abdul Karim, Al-Wajiz, Baghdad:
Muassasah Ar-risalah, 1976 M
Zuhri, Mohammad, Tarikh Tasyrik
Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Semarang: Daarul Ihya, 1980
Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
[1] Saipudin
Shidiq, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011),
hlm.223
[3] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm.237
[4] Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 81-85
[5] Saifudin Zuhri, Ushul
Fiqih Akal sebagai Sumber Hukum Islam, hlm 105-107
[6] Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqih, hlm 227
[7] Asmawi, Studi
Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm 112
[8] Mohammad, Zuhri, Tarikh
Tasyrik Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Semarang: Daarul Ihya, 1980), hlm
39-40
blognya kurang membantuu...........
BalasPadamsaya tidak suka, kalau berkenan mampir aja ke http://imamelkubu.blogspot.com/