Khamis, 12 Disember 2013

MAKALAH METODE PENETAPAN HUKUM MELALUI MAQASHID AL-SYARI’AH



METODE PENETAPAN HUKUM MELALUI MAQASHID AL-SYARI’AH

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh II
Dosen Pengampu: Amin Farih, M.Ag
Kelas: PAI 3C

Description: 539642_326708610725486_1293097844_n

                                                                 Disusun oleh:
Jajang Gumilar            (123111087)
Kafi Sokhifah             (123111089)
Kartika Farah S.H       (123111090)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2013

Ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa nash al-Qur’an dan Hadits Nabi selain menunjukkan hukum melalui bunyi bahasanya juga juga melalui ruh tasryi’ atau maqasid syari’at. Melalui Maqasid Syari’at inilah ayat-ayat dan hadist-hadist hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan metode istinbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang pada sisi lain juga disebut sebagai dalil.[1] Berikut ini akan diuraikan pengertian maqasid syari’ah, peran maqashid syari’ah dalam menetapkan hukum menurut pandangan Imam Al-Syatibi, pengertian Al-Maslahah dalam hukum Islam, jenis-jenis Maslahah, dan penerapan Al-Maslahah sebagai dalil dan metodologi istinbat hukum.

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian Maqashid Al-Syari’ah?
B.     Bagaimana peranan Maqashid Al-Syari’ah dalam pengembangan hukum Islam?
C.    Apa pengertian Maslahah dalam hukum Islam?
D.    Bagaimana jenis-jenis Al-Maslahah?
E.     Bagaimana penerapan Al-Maslahah sebagai dalil dan metodologi istinbat hukum?

 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Secara bahasa maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan Al-Syari’ah. Maqashid bentuk jamak dari “maqshid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. Al-Syari’ah diartikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sember pokok kehidupan.
Sedangkan syari’ah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.
Menurut Manna al-Qattan yang dimaksud dengan Syari’ah adalah segala ketentuan Allah yang disyari’atkan bagi hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Jadi, dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Maqashid al-Syari’ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia.
 
    Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah:

هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا

Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam  mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.[2]

B.     Peran Maqashid Al-syari’ah dalam pengembangan hukum Islam
Pengetahuan tentang Maqashid Syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.[3]
Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqasid syari’ah. Qiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqasid syari’ahnya yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman khamar (QS. al-Maidah : 90). Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqasid syari’at dari diharamkannya khamar ialah karena sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis (‘illat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukannya, sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘illat hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat meng-qiyas-kannya yang dikenal dengan al-maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan).
C.    Pengertian Maslahah dalam hukum Islam
Mashlahah sering juga disebut dengan istilah istidlal, istislah. Terhadap istilah ini ulama ushul berbeda-beda dalam memberikan definisi.
1.      Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan:
Maslahah yaitu maslahah yang ketentuan hukumnya tidak digariskan oleh Tuhan dan tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan tentang kebolehan dan tidaknya maslahah tersebut.
2.      Abu Zahrah dalam kitabnya ushul fiqih menyatakan:
Maslahah atau istislah yaitu segala kemaslahatan yang ejalan dengan tujuan-tujuan syari’ (dalam menentukan hukum) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjuk tentang diakui atau tidaknya.
3.      Yusuf Musa mmemberikan pengertian:
Maslahah yaitu segala kemaslahatan yang tidak diatur oleh ketentuan syara’ dengan mengakui atau tidaknya akan tetapi mengakuinya dapat menarik manfaat dan menolak kemadaratan.
Menurut istilah malikiyah dan istilah al-Ghozali menyimpulkan bahwa maslahah adalah segala sesuatu yang dapat menjamin kemaslahatan dan kepentingan manusia yang sejalan dengan tujuan syar’i dalam mensyari’atkan hukum.
Sebagai contoh maslahah ini dapat di rumuskan, misalnya pengumpulan Al-Qur’an dalam satu muskhaf, pembuatan mata uang, pencatatan perkawinan dan lain sebagainya yang kesemuanya merupakan ketetapan yang dapat mendatangkan kemaslahatan, walaupun tidak ada ketegasan dari syara’ tentang diakui atau tidaknya dan kemaslahatan itu ternyata memang sejalan dengan tujuan pembinaan hukum Islam yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.[4]
D.    Jenis-jenis Maslahah
Ulama Ushul Fiqih membagi maslahah menjadi tiga bagian:
1.    Daruriyat adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan penting tersebut biasa dinamakan al-Maqashidul khomsah antara lain memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Penjabarannya:
a)    Agama, untuk maksud ini Islam antara lain mensyari’atkan jihad untuk mempertahankan aqidah islamiyah, mewajibkan memerangi orang yang mencoba mengganggu umat islam dalam menjalankan kewajibkan agama dan menghukum orang yang murtad dari islam, dsb.
b)   Jiwa, untuk maksud ini islam antara lain mensyari’atkan pemenuhan kebutuhan biologis manusia berupa sandang, pangan, papan. Begitu pula; hukum qishos atau diyaat bagi orang yang melakukan kesewenang-wenangan terhadap keselamatan jiwa orang lain, dsb.
c)    Akal, untuk maksud ini islam antara lain mensyari’atkan larangan minum-minuman keras dan segala sesuatu yang dapat merusak akal, dan menjatuhkan hukuman bagi setiap orang yang melanggarnya, dsb.
d)   Keturunan, untuk maksud ini islam mensyari’atkan larangan perzinaan, menuduh zina terhadap perempuan mukhshonat, dan menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang melakukannya.
e)    Harta, untuk maksud ini islam mensyari’atkan larangan mencuri dan menjatuhkan pidana potong tangan bagi setiap orang yang melakukannya, begitu pula larangan riba, bagi setiap orang yang membuat rusak atau hilangnya barang orang lain, dsb.[5]
Tidak terpeliharannya kebutuhan-kebutuhan  tersebut tentu akan berakibat negatif pada kelima unsur pokok tersebut.
2.    Hajiyat, bukan merupakan kebutuhan esensial, tetapi kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak terpenuhinya kebutuhan hajiyat akan mengancam eksistensi kelima hal pokok di atas, tapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi seseorang. Karena Allah SWT berfirman :
                                

 Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” (Q.S. Al-Maidah ayat 6).

Contoh: Mengqashor dan menjama’ sholat dalam perjalanan, tayamum diwaktu tidak ada air, membeli barang dengan cara pesanan dengan cara memberikan identitas.[6]
3.    Tahnisiyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan dan kesempurnaan akhlak yang mulia.[7]
Allah berfirman,
 Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?"

Contoh: Memakai pakaian yang baik ketika hendak memasuki masjid.
Asas Hukum Islam:
1)      Tidak menyulitkan ('adamul kharaj)
Yang dimaksud tidak menyulitkan adalah hukum islam itu tidak sepi, sempit, sesak,tidak memaksa dan tidak memberatkan. Diantara cara meniadakan kesulitan itu, ada beberapa bentuk:
a.       Pengguguran kewajiban, yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban shalat jum’at dan gugurnya kewajiban puasa di bulan Ramadhan bagi orang yang sedang dalam keadaan dalam perjalanan atau sakit.
b.      Pengurangan kadar yang telah ditentukan, seperti qashar shalat dari yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat, yaitu shalat Dzuhur, Ashar, dan Isya’.
c.       Penukaran, yaitu penukaran satu kewajiban dengan yang lain, seperti wudhu atau mandi besar ditukar dengan tayamum, atau menukar kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dengan hari lain bagi orang yang mempunyai halangan puasa Ramadhan.
d.      Mendahulukan, yaitu mengerjakan suatu kewajiban sebelum waktunya hadir seperti shalat jama’ taqdim, shalat Ashar yang dilaksanakan pada waktu Dzuhur, melaksanakan shalat Isya pada waktu shalat magrib.
e.       Menangguhkan atau mengtakhirkan   kewajiban yaitu mengerjakan suatu kewajiban setelah waktunya tidak ada seperti shalat jama’ takhir, mengerjakan shalat Dzuhur di waktu shalat Ashar atau mengerjakan shalat Magrib di waktu shalat Isya.
f.       Mengubah dengan bentuk lain, seperti merubah perbuatan shalat dengan shalat khauf karena alasan keamanan, atau mengganti kewajiban puasa bagi orang yang sudah tidak kuat lagi puasa dengan membayar fidyah.
2)      Menyedikitkan beban (taqlil at-taklif)
Menyedikitkan beban, yaitu dengan menyedikitkan tuntutan Alloh untuk berbuat, mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
3)      Berangsur-angsur (tadrij fi at-tasyfa)
Hukum islam dibentuk secara gradual, tidak sekaligus. Diantara hukum islam yang diturunkan secara gradual adalah riba.[8]
Pertama hanya dikatakan sebagai perbuatan tercela dalam (Qs.al-Rum: 39)

“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.(Q.S Al-rum: 39)
 Kemudian riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda (Qs. Ali imron: 130)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.(Q.S Ali Imran: 130)
Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
 Terakhir dikatakan hukum secara mutlak dalam (Qs. Al-Baqoroh: 275)
š
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah:275)
Demikian juga dalam pelarangan minuman keras, awalnya hanya dikatakan bahwa mudharatnya lebih besar dari manfaatnya (Qs. Al-Baqoroh: 219)
                  
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”(Q.S Al-Baqarah: 219)

 Kemudian larangan untuk mendekati shalat dalam keadaan mabuk (Qs. an-Nisa: 43)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”(Q.S.An-Nisa: 43)

Dan terkhir diharamkan secara mutlak bahkan dikatakan sebagai perbuatan syetan (al-Maidah: 90)
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S.Al-Maidah: 90)

E.     Penerapan Al-Maslahah sebagai dalil dan metodologi istinbat hukum
Sudah kita ketahui bahwasannya jenis-jenis al-maslahah ada tiga macam, yaitu: dhoruriyyah, hajiyah dan tahnisiyyah. Dari ketiga macam tersebut muncul beberapa mabadi / prinsip-prinsip bersifat global yang telah dijadikan metode para ahli fiqh dalam mencari istinbath hukum.
Dibawah ini adalah contoh dari prinsip-prinsip di atas:
1.    Ad-dhororu yuzaalu
wajib menghilangkan kerusakan yang telah terjadi"
Contoh: disyari’atkan konsep khiyar bagi akad yang memiliki kerusakan seperti khiyar terhadap barang yang memiliki aib, begitu juga diwajibkan berobat bagi yang sakit.
2.    Darul mafaasid awlaa min jalbil al-manaafi
menolak terjadinya kerusakan itu lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahah”
Contoh: diharamkan menjual semua jenis khamr walaupun dapat memberi keuntungan ekonomi.
3.    Ad-dhoruuroot tubikhu al-makhdzurot
dalam keadaan gawat darurat, diperbolehkan untuk melakukan hal yang dilarang”
Contoh: diperbolehkan bagi orang yang kelaparan di hutan belantara untuk memakan bangkai atau barang yang diharamkan syara’ demi keberlangsungan hidupnya.[9]



 IV.            KESIMPULAN
1.      Maqashid al-Syari’ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia.
2.      Maqashid Syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.
3.      Menurut istilah malikiyah dan istilah al-Ghozali menyimpulkan bahwa maslahah adalah segala sesuatu yang dapat menjamin kemaslahatan dan kepentingan manusia yang sejalan dengan tujuan syar’i dalam mensyari’atkan hukum.
4.      Ulama Ushul Fiqh membagi jenis-jenis maslahah menjadi tiga bagian: Daruriyat, Hajiyat, Tahsiniyat.
5.      Asas hukum Islam ada tiga yaitu tidak menyulitkan ('adamul kharaj), menyedikitkan beban (taqlil at-taklif) dan berangsur-angsur (tadrij fi at-tasyfa).
6.      Penerapan Al-Maslahah sebagai dalil dan metodologi istinbat hukum yang mempunyai contoh dari prinsip-prinsip yaitu Ad-dhororu yuzaalu, darul mafaasid awlaa min jalbil al-manaafi, ad-dhororuuroot tubiichu al-machdhzuurot.

    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang apat kami paparkan. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amiin.








DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Studi Hukum Islam, Yogyakarta: Teras, 2012
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah, 2009

Shidiq, Saipudin, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011
Zidan, Abdul Karim,  Al-Wajiz, Baghdad: Muassasah Ar-risalah, 1976 M

Zuhri,  Mohammad, Tarikh Tasyrik Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Semarang:  Daarul Ihya, 1980

Zuhri, Saifudin,  Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
                                                                                                   



[1] Saipudin Shidiq, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.223
[2] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.196
[3] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm.237       
[4] Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 81-85
[5] Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih Akal sebagai Sumber Hukum Islam, hlm 105-107
[6] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih, hlm 227
[7] Asmawi, Studi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm 112
[8] Mohammad, Zuhri, Tarikh Tasyrik Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Semarang: Daarul Ihya, 1980), hlm 39-40
                                                                   

[9] Abdul Karim Zidan, Al-Wajiz, (Baghdad: Muassasah Ar-risalah, 1976 M), hlm.383

1 ulasan:

  1. blognya kurang membantuu...........
    saya tidak suka, kalau berkenan mampir aja ke http://imamelkubu.blogspot.com/

    BalasPadam